TAK ADA KOKOK LAGI DI MALOKOK

Beritabawean.com – Bercerita tentang sebuah gunung atau bukit tentu akan merasa terkesima dengan ketermasyhuran nama \”Gunung Malokok\” di masa lampau. Gunung ini berada atau terletak di antara kepungan lima desa di Kecamatan Sangkapura. Lima desa dimaksud sebagai pengepung antara lain; Desa Sungairujing sebelah timur, Desa Sawahmulya dan Desa Kotakusuma di sebelah selatan, Desa Patar Selamat di sebelah barat, serta Desa Gunung Teguh di sebelah utara. Secara historis geografis Gunong Malokok merupakan wilayah teritorial Desa Gunung Teguh.
     Berdasarkan kisah lisan yang mengalir dari orang-orang terdahulu melalui tuturan dari mulut ke telinga (bukan dari mulut ke mulut karena bisa, red) bahwa Gunung Malokok merupakan sisa letusan gunung tertinggi se-Bawean kala itu yakni Gunung Totoghi. Hal ini disandarkan pada kata \”Malokok\” yang bersinonim dengan kata \”menir\”. Menir itu sendiri bernosi bagian beras yang kecil-kecil. Bila demikian adanya sedikit bisa diterima oleh akal waras. Cerita lisan yang amat mengejutkan bahwa dulunya kawasan Gunung Malokok oleh Sang Maha Pencipta akan dijadikan Kota Mekah. Bukti kegagalan kehendak suci ini terlihat dari tatanan lapisan batu pualam di sepanjang aliran batang sungai di kaki gunungnya mirip lempeng batuan di tanah suci Mekah. Penyebab batalnya menjadi Kota Mekah di daerah Gunong Malokok kononnya ada seekor ayam jantan putih mendahului berkokok. Kokok tersebut kini sudah tidak ada lagi. Cerita versi dongeng yang sempat menggemparkan pula bahwa di bagian perut bumi Gunung Malokok terdapat kuda emas. Bualan ini keluar dari mulut seorang Sang Pertapa yang berhasil melakukan tirakat selama emput puluh hari empat puluh malam menyendiri di salah satu sudut lereng gunungnya. Peristiwa pengungkapan adanya kuda berbahan emas di dalam perut bumi Gunung Malokok terus menjadi bahan pergunjingan permanen. Begitu ramai dibincangkan bagi kalangan warga yang menetap di sekitarnya. Bahkan tidak hanya itu, seorang dukun atau tabib palsu bernama Sayyin Syafi\’e sebelum melakukan aksi tipu-tipu pengaku sebagai ahli pengobatan alternatif mengawali tirakatnya dari kaki Gunung Malokok bagian selatan. Tabib penipu masa lalu itu berhasil menelanjangi sekaligus mempermalukan warga Bawean khususnya warga Sangkapura yang telah terang-terangan menggendong dan mengusung sanak saudaranya menuju pojok selatan sebelah timur alun-alun Kota Sangkapura sebagai tempat aksinya. Tujuan mereka sekadar mau sembuh dari tangan tabib bodong itu. Berbagai jenis penyakit yang diderita warga keluar semua dari sarang tempat tinggalnya. Sembuh di tempat akibat permainan sulap atau hipnotisnya. Berapapun uang dikeluarkan dari kocek warga masing-masin asal dapat sembuh. Kenyataan setelah sampai pulang ke rumah kembali kisah seorang yang lumpuh dapat berdiri dan berjalan normal saat di alun-alun saja. Pulang sampai di rumah kembali lumpuh seperti sedia kala. Tiba-tiba saja Pak Dukun Sayyin Syafi\’e menghilang entah ke mana.
( Baca Juga : MOMBHUL MENGGODA HATI )
     Awam juga belum banyak tahu bahwa di puncak ketinggian Gunung Malokok terdapat pusara atau tempat \”pasarean\” seorang putri dari Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya. Putri tersebut bernama Nyai Malokok atau lebih terkenal dengan sebutan Jujuk Malokok. Nyai Malokok telah memiliki andil dalam penyebaran agama Islam di Pulau Bawean.(baca: Waliyah Zainab Pewaris Syekh Siti Jenar). Makna yang tersirat dari pusara harus diletempatkan di puncak gunung menunjukkan betapa tinggi nilai sebuah perjuangan dalam menegakkan panji-panji siar dakwah. Keberadaan pusara Nyai Malokok itu sekadar bernisan batu dan berbalut kafan kusam tanpa ada yang memberikan perhatian berlebih. Sungguh ironis nasib seorang pejuang Islam tanpa ada yang mau hirau.
     Di bagian selatan kaki Gunung Malokok terdapat komplek bangunan makam yang dianggap salah satu pelopor siar Islam yakni makam Purbonegiro wafat pada tahun 1747 Masehi. Situs tersebut lebih terkenal dengan sebutan \”Congkop\”. Juru kunci yang dipercaya adalah Ustadz Raden Aminuddin alias Mak Ending asal Dusun Sawahluar Desa Kotakusuma. Di zaman lampau tempat tersebut kerap kali dijadikan ajang ritual tujuan \”nyekar\” atau ziarah. Ramai barisan dokar pengangkut para peziarah musiman parkir mengular di sepanjang batang jalan antara Dusun Sawahdaya dan Dusun Sawahmulya bagian utara. Mereka datang berziarah dengan membawa segala hidangan untuk jamuan santab bersama setelah melakukan penunaian \”paneatan\” atau nazar lainnya. Kini tradisi nyekar di kaki Gunung Malokok sudah hampir tiada lagi jejaknya seiring dengan bertambah menterengnya bangunan komplek makan hingga menghilangkan kesan kesejarahannya. Pellem poteh atau mangga putih dengan tatanan batu karang penuh balutan lumut hijau sebagai tengara dan pagar pembatas komplek makan yang menjadi saksi sejarah kini sudah tiada lagi. Semua sudah berganti tembok dan pintu berpagar besi, menghilangkan kesan kekunoannya. Di sinilah pentingnya memperhatikan sebuah artefak dari sisi aspek kesejarahan. Bangunan kuno lebih eksotik dibanding dengan stailis mewah berdinding keramik. Dahan pohon cempaka pun semakin langka adanya. Semua dipermak serba modern sehingga kesan kesejarahannya menjadi punah seketika.
     Gunung Malokok juga menyimpan nostalgia masa silam tentang adanya kegemaran anak-anak muda untuk mendapat hasil alamnya (food gathering) dari berbagai tanaman buah dab sejenisnya. Buah prinadona kala itu sebagai \”manggisnya warga Bawean\” berupa buah bedung. Buah dengan rasa kecut manis berbji ini dan berkulit kuning merona itu mampu mencukupi kebutuhan akan vitamin C sebagai pendukung stamina kesehatan tubuh. Biji bedung sedap dikulum lidah hingga biji manisnya ditelan hingga menuju lambung dan bersarang di perut anak-anak masa melarat hidupnya. Untuk memperoleh limpahan buah bedung kadang cukup dengan melemparkan sekepal batu atau nekat memanjat pokok bedung yang menjulang tinggi itu. Buah bedung yang didapat langsung disantap di tempat, sedang selebihnya di-\’co\’or\’ bak tusukan sate pada sebuah lidi daun arin. Kadang membawanya pulang dengan cara mengalungkan di keher bila memang kebanyakan. Riang gembira rasanya membawa pulang deretan buah bedung itu. Hamparan tanah Gunung Malokok menyimpan berbagai ragam buah. Salah satu kandungan perut dari tanah Gunong Malokok terdapat buah bengkoang. Kerap kali segerombolan anak-anak muda naik merayap dari kaki hingga puncak Gunung Malokok untuk mendapatkan buah bengkoang dengan rasa manus menepung di lidah. Mereka cukup menculak-culik di hamparan tanah Gunung Malokok sudah bisa mendapatkan buah bengkoang yang banyak tumbuh liar. Tentu anak-anak muda dengan perasaan riang gembira pula membawa pulang banyak buah bengkoang alam walau harus turun kembali dengan cara menggelinding dan berguling-guling tinggi menukik menuju kaki bukutnya kembali. Mereka tidak begitu perduli walau bagian belakang kain celananya harus kotor dan robek atau \”bhukkak\” dianggap hal yang lumrah. 
     Kejadian aneh dan sedikit menyeramkan yang selalu muncul adanya aroma masakan kuah cumi-cumi di kegelapan malam. Peristiwa berbau horor ini sering terjadi di jalan lintasan tanjakan sebelah timur Gunung Malokok menuju dusun Teguh di malam hari. Menurut kepercayaan warga setempat bahwa menyeruaknya aroma kuah nos itu menandakan adanya demit berupa setan berjenis \”Oreng Celleng\” yang menampakkan diri. Hal ini ditakuti karena akan dapat menghilangkan orang apabila kerubuhan olehnya.
     Peristiwa tragedi yang kerap kali menimpa Gunung Malokok adanya kebakaran hutannya. Anggapan sementara terjadinya kebakaran rutin di setiap musim kemarau merupakan sebuah kesengajaan dalam membabat alas dalam usaha membersihkan belukar dari talaran tumbuhan perdu dan tumbuhan gulma lainnya untuk dapat ditanami tanaman atau tumbuhan produktif lainnya.
     Paling berkesan dari Gunung Malokok adanya kemerduan suara kokok ayam alas di setiap pagi menyongsong terbit dan naiknya fajar gari ufuk timur. Kokok ayam alas yang nelengking dan berdurasi relatif panjang itu menandakan betapa mesranya hidup dengan suara alam yang merdu tiada tara. Warga yang tinggal di sekitar Gunung Malokok akan terus nenyimpan rekaman suara kokok ayam alas di ingatannya. Suara alam itu kini menjelma menjadi suara duka nestapa yang sudah tiada terdengar lagi. Ke mana gerangan perginya? Siapa gerangan yang beringas memunahkannya? Jawabnya,  \”Tanyakan pada ilalang kering yang tertiup angin lalu\”.

Oleh : Sugriyanto

Penulis Guru SMAN 1 Sangkapura dan Dosen STAIHA 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *