Foto: One Lens Story |
Beritabawean.com – Jujukan wisata tervaforit dan tertua di zamannya adalah telaga (al-kautsar, red) Kastoba. Awam masih sangsi untuk menamainya sebagai danau karena ukuran yang telatif tidak seberapa luas bila dibanding dengan luas kakak danau kembarannya yakni Danau Toba di Sumatera Utara serta seniornya yakni Danau Kasvia terluas sedunia. Walau demikian warga Pulau Bawean sebagian menyebut Danau Kastoba dan selebihnya bertahan menyebutnya Telaga Kastoba.
Berdasarkan tinjauan kisah dongeng yang telah banyak dituturkan bahwa kejadian Telaga Kastoba itu akibat tercerabutnya pohon toba atau tuba beserta akarnya oleh dua ekor burung gagak raksasa yang tengah menggosipkan atau \”ngerumpi\” berdua tentang seorang kakek yang telah terenyap tidur di bawah dahannya. Tatkala sang kakek sadar dan terbangun serta tahu apa isi percincongan kedua burung yang dianggap gaib itu, sekonyong-konyong pula marah dan menghardiknya dengan \”menjuhuyinya\” kedua burung genit tersebut. Kedua burung raksasa itu kaget seketika dan keempat cakar kakinya mencengkrama kuat pokok dahan pohon kastoba tersebut seraya tererabut dibawa terbang hingga ke akar-akarnya. Ceruk atau lubang bekas tumpuan akar dan dahan pohon tuba atau toba tersebut menyumbar air jernih hingga kini. Terjadilah sebuah telaga yang namanya dinisbatkan pada nama pohon Toba atau Tuba dimaksud.
Versi terbaru 2017 ini muncul dari pendapat salah seorang pakar geografi berkebangsaan Tajung Sungairujing, sebut saja Bapak Rahmat Safari, S.Pd. M.Pd. menuturkan tentang asal usul Telaga atau Danau Kastoba tersebut merupakan peristiwa alam yang terjadi jutaan tahun silam. Bila diperhatikan dari penamaan saja secara etimologi berasal dari rapatan dua kata yakni kata \”kars\” yang berarti batuan kapur dan kata \”toba/tuba\” yang diambilkan dari nama sebuah pohon pahit memabukkan. Jadi, menurutnya Telaga atau Danau Kastoba struktur batuan pembentuknya berupa stalaktat dan stalaknit berupa mulut gua yang kebetulan membentuk corong menganga ke langit, persis menyerupai wujud pusaran angin puting beliung atau mirip dengan es krim Cornello. Ceruk atau kubangan luas itu membentuk telaga atau danau karena terisi jutaan kubik air. Beliau pun melengkapai jawaban dari beberapa pertanyaan terlontar mengapa airnya tidak kering padahal Telaga atau Danau Kastoba tersebut berada pada ketinggian puncak bukit yang relatif berada di atas dataran lain di sekitarnya. Dengan cermat dan tangkas pula Bapak Rahsaf, nama akronimnya menerangkan bahwa Telaga Kastoba itu tekstur batuan endapan kapurnya kedap air atau anti bocor. Persoalan debit airnya yang tak pernah kering bahkan berlimpah sepanjang masa dan sepanjang musim kemarau sekalipun karena rimbunan pohon rindang yang mengitarinya sebagai cadangan sumber mata air berlebih. Wajar bila Telaga atau Danau Kastoba menjadi lahan basah sepanjang masa.
Ada beberapa kejadian yang dianggap tabu dalam memperlakukan atau yang pernah terjadi di Danau Kastoba. Istilah daerahnya kerap kali warga Pulau Bawean menyebutnya dengan ungkapan \”kabennangan\”. Fonem {e} pada ungkapan \”kabennangan\” dilafalkan sebagai bunyi pepet seperti bunyi fonim {e} pada kata \”tebu ireng\” asal Jombang. Maksud dari ungkapan \”kabennangan\” itu adalah kedapatan berjumpa dengan sesuatu yang aneh di Telaga atau Danau Kastoba tersebut.
Pernah suatu ketika warga yang bertamasya ke Danau atau Telaga Kastoba mendapati iring-iringan penganten dengan segala keramaiannya. Bila warga tidak menyadarinya maka akan mengikuti iringan pengantin tersebut hingga ke tengah danau dengan tidak sadarkan diri akhirnya mati tenggelam. Kejadian aneh lagi yang sering menggoda pengunjung adalah hamparan ikan dan udang yang merangsang pengunjung untuk menangkapnya saat berenang di tepi danau hingga terseret ke tengah telaga atau dabau bersama pusaran airnya dan akhirnya hilang tenggelam dibuatnya. Sering kabar duka dan nestapa itu tersiar dari telaga yang menyimpan misteri dan ketabuan.
Hal yang dianggap tabu dan berakibat vatal tatkala pengunjung mengambil batu atau apa saja yang ada di Telaga Kastoba untuk dibawa pulang. Pengambilan gelap atau terang-terangan ini berakibat hujan lebat akan turun sejadi-jadinya walau saat itu musim kemarau. Kejadian akibat melanggar hal tabu yang menjadi larangan keras secara tidak tertulis ini benar-benar menjadi kenyataan di zamannya. Warga Pulau Bawean yakin dan percaya karena dulu faktanya memang demikian. Kini mungkin sudah tidak seberapa tabu lagi namun warga setempat tetap tidak berani untuk nekat mengambil batu dan barang lain yang ada di Telaga Kastoba. Semua tentu berangkat dari sebuah pengalaman masa lalu yang menyebabkan kemurkaan alam.
Kejadian tabu lainnya sebagai larangan atau pantangan untuk datang ke Danau atau Telaga Kastoba adalah kaum wanita yang sedang haid atau menstruasi. Air Danau atau Telaga Kastoba akan keruh berwarna merah darah seperti darah wanita haid. Dulu, pernah dimintai kesaksian oleh penunggu Telaga Kastoba yang terpaksa keluar dari gua kapur di tepi danau tentang adanya salah seorang wanita datang bulan berkunjung ke Danau Kastoba. Sang pertapa langsung tunjuk hidung dan memohon kepada pengunjung dimaksud untuk kembali pulang sampai suci bolelah berkunjung kembali. Sang pertapa pun menambahkan bahwa siapa saja yang berkunjung ke Telaga Kastoba agar tidak berkata kotor atau jorok walau sekadar canda belaka. Bahkan perbuatan mesum akan dikutuk seumur hidupnya bila diperbuat di lokasi danau penuh dengan nilai tabu tersebut.
Peristiwa tragedi tenggelamnya korban di Telaga atau Danau Kastoba beberapa tahun lalu, sekitar tahun 80-an membuat mata dunia terbelalak seketika. Seorang turis asing harus mengakhiri hidupnya di pusaran air Telaga Kastoba yang diremehkannya. Hingga larut malam warga turut melakukan pencarian dengan memburdati sekeliling tepian danau. Sesuntuk malam warga dengan lampu petromak atau \”damar kaspon\” membacakan doa yasin sebagai wajud pertanggung jawaban dalam pencarian korban. Hasilnya pun tetap nihil hingga warga putus asa karena berbagai cara baik melibatkan tim SAR (Search And Rescue) setempat serta pengerahan para pawang handal hasilnya tetap tak berbuah. Seminggu setelah kejadian, kabar mengejutkan tentang ditemukannya korban tenggelam di Danau atau Telaga Kastoba muncul ditemukan di tepi pantai Desa Teluk Jati Dawang. Ternyata, selidik punya selidik antara kawasan Telaga atau Danau Kastoba dengan bibir pantai Desa Teluk Jati Dawang menurut penuturan orang \”pintar\” terdapat lubang terowongan batu kapur antara kedua tempat tersebut. Ada anggapan pula bahwa korban dibawa jin atau rokh halus setelah ketabuannya ditantang oleh siapa saja termasuk orang asing sebagai pendatang yang berlagak meremehkan hal yang dianggap tabu itu.
Salah seorang santri tertua dari Kiai H. Abdul Hamid Thobri Pancor yang menetap di Dusun Langaor, sebut saja Kiai Nahrawi menuturkan bahwa dulu Telaga atau Danau Kastoba tersebut menjadi lahan nelayan setempat dalam kegiatan menjala udang dan ikan mujair air tawar yang berlimpah. Setiap hari warga membawa udang dan ikan satu dua bhelengse ke pasar sebagai hasil tangkapan di pinggiran atau tepi telaga. Kini, akibat keserakan dan cara yang kurang beradab dan perebutan penangkapannya menyebabkan kepunahan setelah sumua habis dituba.
Beberapa tahun silam, saya bersama Bapak Fathan Al-Irsyad (kini menjabat kepala PPAI Kecamatan Sangkapura), Bapak Joni Iswanto (mantan guru fisika SMPN 1 Sangkapura), Bapak Samsul Johan (kepala Dusun Sawahdaya), Bapak Ridwan (adik kandung Ir. Sariful Mizan), Bapak Edy Iswanto (guru dan dosen) berkunjung di malam hari menuju Telaga atau Danau Kastoba. Rombangan para bujang dan lelaki pemberani kala itu berangkat sehabis isya\’ melintasi jalan tengah Desa Gunung Teguh dengan berjalan kaki. Peralatan yang dibawa berupa sentolop senter jarak jauh setera kekuatan sinar laser, handy talky dengan radius panar menembus ke luar pulau, peta buta Pulau Bawean peninggalan Belanda, sikap atau pisau pramuka, alas tidur, serta bahan logistik seperlunya tak luput dibawanya pula. Tepat pukul 02. 00 WIB, dini hari kami bermalam santai di tepi telaga. Minum dan mandi kesejukan air telaga begitu nikmat. Namun, rombongan tetap mandi tanpa betabu-tabuan air karena hal itu juga dianggap tabu bila harus dilakukan di waktu malam dini hari. Percaya atau tidak belive or not…!
Oleh : Sugriyanto
Penulis Guru SMAN 1 Sangkapura dan Dosen STAIHA