COROK MASA LALU

Beritabawean.com – Sengketa penyebutan daun tulang rawan berupa kuping dan telinga sebagai alat pendengaran masih terus menjadi bahan simakan yang tetap aktual. Keterbincangannya terus menembus ruang dan waktu. Sampai-sampai dalam bidang medis terdapat poli THT (Telinga Hidung Tenggorokan).  Sebagian menyebut \”kuping\” lebih dekat merujuk kepada makna bendanya sedangkan sebutan \”telinga\” lebih menitik beratkan pada kegunaannya. Namun bila diurai berdasarkan pemakaian dalam ketata-bahasaan atau gramatik, kata \”kuping\” lebih condong morfologinya ke kata kerja atau verba. Sebagai satu permisalan saja (Adik dikuping ayah, bukan Adik ditelinga ayah, red).

     Secara anatomi fisiologi telinga atau kuping merupakan alat pendengaran yang cukup vital sebagai penopang keseimbangan tubuh manusia. Bila salah satu kuping kita kemasukan air atau \”bebeng\” maka keseimbangan badan ini merasa kurang stabil. Orang akan berjalan sempoyongan bila salah satu telinga atau kupingnya mengalami gangguan. Bahkan, adanya orang bisu hakikatnya sejak lahir kupingnya sudah mengalami ketulian. Persepsi awal dari kebisuan itu akibat lidahnya pendek akan tetapi senyatanya akibat faktor ketulian sejak lahir.

     Salah satu panca indera yang paling sering menjadi sasaran empuk kemarahan orang tua, guru, ustadz, dan kaum pendidik lainnya adalah kuping atau telinga. Korelasi antara perlakuan menjewer telinga anak yang bandel atau \”tambeng\” terhadap daun telinga dihubungkan dengan tidak berfungsinya atau kurangnya penghirauan terhadap anjuran atau nasihat yang dituturkannya. Mereka tidak mau mendengarkan nasihat atau anjurannya. Akibatnya, kuping atau telinga sebagai alat pendengar yang tak berdosa kerap kali menjadi sasran kejengkelan seseorang. Kadang daun telinga sampai memerah akibat jeweran keras. Tak jarang pula orang marah karena tersinggung dengan ocehan orang lain merasa panas kupingnya, bukan panas anggota badan lainnya.

     Kuping juga sebagai alat perangsang yang cukup sensitif. Betapa indahnya daun kuping seorang gadis bila mengenakan anting cincin berdiameter  seukuran uang logam masa silam yang relatif lebih besar. Siapa gerangan yang tidak tergoda dengan penampilan telinga indah dari Dian Sastrowardoyo saat menggeraikan rambut lurusnya di antara daun telinga dan leher kepalanya. Siapa pula yang tak akan terpesona dengan telinga Nia Daniati. Masih banyak bintang kecantikan yang teramat indah dari sisi telinganya. Wajar bila bayi perempuan lahir dibagian pergiwangan atau persengkangan dilobangi atau \”diturbuk\” oleh bidan dan dukun beranak. Kelak dewasa lubang tersebut menjadi tempat memasang anting atau giwang pemanis roman kewanitaannya.

     Sementara itu, warga Bawean di masa lalu telah memperlakukan lubang kuping dengan kotorannya secara semena-mena mengikuti rasa enaknya saat gatal lalu menggaruk atau \”mengoreknya\” hingga ke liang terdalam dari telinga mereka. Beberapa alat yang kerap kali dipakai meliputi semat kawat, seppet rambut baja hitam, kawat baja kabel listri berselaput merah-hitam yang sudah dikelupas. Baja kuningan kawat kabel listri itu setelah dikelupas selaput pembungkusnya dipipihkan bagian ujungnnya. Alat keras dan tajam itulah yang digunakan untuk mengusir rasa gatal akibat menumpuknya kotoran telinga berbau tengik itu. Kebiasaan buruk yang pernah dilakoni warga Bawean masa lalu itu dilakukan karena belum mengenal cottonbat atau kapas slilit lembut lainnya.

    Derita awal dari rasa nyaman mengorek liang telinga dengan alat berbahan logam itu menyebabkan sebuah ruda paksa terhadap dinding liang telinga hingga ke alat sensitif lainnya di bagian paling dalam. Luka yang ditimbulkan lama kelamaan akan mengeluarkan cairan kental berupa nana berwa hijau pupus dengan aroma bangkai busuk. Kalau sudah mengalir hingga ke pergiwangan telinga akan menjadi buah mulut, bahkan menjadi sasaran pusat olok-olok orang di dedakatnya. Penderita penyakit buatan ini menjadi mender dan tersisi dari pergaulan akibat menyeruaknya bau corok masa lalunya. Walau demikian,  penderita masih merasa keasyikan pula saat mengoreknya dengan ujung bulu ayam dalam kesendiriannya. Dendang lagu dangdut lama pun turut menyertainya. Kerdap-kerdip kedua mata penderita corok saat mengorek dengan ujung bulu ayam sunggu terasa nikmat konon katanya. Mereka terkadang tidak ambil pusing dengan orang sekitar karena dianggap penyakit orang kebanyakan. Di setiap kampung tentu terdapat orang menderita penyakit corokan sehingga dianggap lumrah atau biasa. Kini penyakit corok masa lalu itu sudah jarang adanya, bahkan hampir tidak ada. Kalaupun ada jumlahnya dapat dihitung dengan jumlah jari sebelah tangan saja adanya di Pulau Bawean. Tentu hal ini adanya sentuhan kemajuan dengan mengedepankan pola kebiasaan hidup sehat dan adanya alat yang sudah serba modern dengan zero acciden dalam penggunaannya. Jika memang masih ada patutlah sebait karmina mengalun \”Kapal kerruk moak kentang, siapa yang bercuruk bau bebetang. (bau bangkai, red).\” Justru itu, siapa saja yang tak hirau dengan suara rakyat patut dicurigai bahwa di lubang kupingnya mungkin mengendap corok yang berakibat kebiccuan permanen. Bicara soal corok tentu bukan hal yang jorok. Goodby… Corok…!

Oleh : Sugriyanto

Penulis Guru SMAN 1 Sangkapura dan Dosen STAIHA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *